Pemerintah berulang kali berjanji mengurangi ketergantungan pada minyak
bumi. Faktanya, sangat sedikit usaha konversi dilakukan.Mau bukti?
Tingkat konsumsi gas Indonesia pada tahun lalu baru sekitar 21 persen,
sementara penggunaan minyak telah mencapai 50 persen. Padahal cadangan
minyak Indonesia telah jauh menyusut, sementara deposit gas alam masih
cukup tinggi.
Mengutip Statistical of World Energy Report 2011, Indonesia masih
memiliki cadangan gas 3,1 triliun meter kubik, yang bisa bertahan hingga
40-an tahun dengan rata-rata produksi 82 miliar meter kubik per tahun.
Adapun total cadangan minyak bumi nyaris kerontang, tinggal 4,2 miliar
barel. Jumlah ini ditaksir habis dalam delapan tahun.
Sebenarnya, rencana pemerintah lepas dari ketergantungan minyak telah
"dicanangkan" sejak 1995. Tapi rencana tak jalan lantaran harga minyak
dunia ketika itu masih rendah. Kebiasaan pemerintah memberikan subsidi
minyak membuat program konversi melayang-layang. Padahal ongkos
"memanjakan" rakyat dengan bensin murah sangat mahal, termasuk
gonjang-ganjing politik setiap kali subsidi hendak dikurangi.
Laporan utama majalah Tempo pekan ini mengungkapkan, banyak korban
akibat program konversi yang tak jalan itu. Salah satunya adalah
molornya pembangunan terminal apung penampung dan pengolah gas alam cair
di Teluk Jakarta. Terminal itu sedianya memasok kebutuhan gas
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang dan Tanjung Priok.
Keterlambatan ini menutup peluang PT Perusahaan Listrik Negara menghemat
sedikitnya Rp 2,7 triliun biaya bahan bakar, sejak September tahun
lalu. Walhasil, Badan Pemeriksa Keuangan menganggap PLN boros memakai
uang negara.
Persoalan muncul sejak awal proyek penyediaan gas di Jakarta yang
bernama proyek Teluk Jakarta. Bukannya memilih penyedia tanker baru, PT
Nusantara Regas--perusahaan patungan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara
yang menangani terminal apung tadi--malah menunjuk Golar LNG.
Perusahaan internasional yang berkantor di Bermuda itu menyediakan
tanker berusia 35 tahun sebagai terminal mengapung. Perlu waktu
berbulan-bulan untuk menyiapkan tanker itu, dan ini salah satu penyebab
keterlambatan.
"Tinggal beberapa pekerjaan akhir. Kami berharap Mei semuanya ready,"
kata Direktur Utama Nusantara Regas Hendra Jaya, Selasa pekan lalu.
Hendra dan anak buahnya sedang berpacu dengan waktu. Realisasi proyek
ini sudah molor hampir setengah tahun. Mereka telah berulang kali pula
merevisi janji kepada PT Perusahaan Listrik Negara--pembeli gas dari
proyek ini.
PLN tak mau ambil risiko. Pembangkit, yang tak boleh padam, terpaksa
membakar solar. "Kedua pembangkit ini penyangga utama tegangan. Kalau
keduanya sampai mati, Jakarta dan sekitarnya akan byar-pet," kata Kepala
Divisi Gas dan Bahan Bakar Minyak PLN M. Suryadi Mardjoeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar